Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) didirikan pada 3 Januari 1946, menjadi salah satu institusi awal yang menandai kemerdekaan dan sekaligus menegaskan asas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bernegara. Sepanjang perjalanannya, Kemenag telah menghasilkan dan menyimpan jutaan arsip yang tidak hanya berfungsi sebagai catatan administrasi, tetapi juga sebagai dokumen sejarah vital yang merekam dinamika kehidupan beragama, pendidikan, hingga kebijakan haji di Indonesia.

Dalam konteks inilah, Arsiparis memegang peran kunci sebagai garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan warisan berharga ini, menjadikannya sebagai Memori Kolektif Bangsa yang utuh dan berkelanjutan.

1. Pentingnya Arsip Kemenag sebagai Warisan Sejarah

Arsip yang tersimpan di Kemenag bukan sekadar tumpukan kertas, melainkan cerminan kebijakan negara terhadap agama. Dokumen-dokumen ini, yang kini dikategorikan sebagai Arsip Statis atau Arsip Terjaga, meliputi:

  • Regulasi Pembentukan Lembaga: Dokumen penetapan pendirian Kemenag, seperti Penetapan Pemerintah Nomor 1/SD Tahun 1946, yang menjadi tonggak sejarah institusi.
  • Kebijakan Strategis: Catatan-catatan historis mengenai urusan haji, peradilan agama, dan pengembangan pendidikan madrasah, yang sangat penting untuk menelusuri akar kebijakan publik hingga hari ini.
  • Sejarah Moderasi Beragama: Arsip yang merekam praktik dan implementasi kebijakan moderasi beragama sejak awal kemerdekaan, menjadi referensi penting bagi jati diri bangsa.

Arsiparis bertugas memastikan bahwa warisan ini tidak hilang, rusak, atau terdistorsi, sehingga dapat didayagunakan sebagai bahan pertanggungjawaban nasional kepada generasi mendatang.

2. Peran Kunci Arsiparis dalam Pelestarian

Untuk menjamin keberlanjutan arsip-arsip sejarah ini, Arsiparis di lingkungan Kemenag menjalankan tugas yang kompleks dan multidimensi:

  • Akuisisi dan Penilaian Arsip Statis: Arsiparis menentukan arsip dinamis mana yang memiliki nilai guna kesejarahan permanen (vital), lalu melakukan akuisisi (penyerahan) secara resmi ke unit kearsipan. Proses ini krusial untuk mencegah arsip berharga ikut termusnahkan.
  • Preservasi Fisik dan Digital:
    • Fisik: Melakukan tindakan konservasi, seperti pencegahan kerusakan oleh faktor biologis (jamur, serangga), lingkungan (kelembaban), dan penataan dalam sarana penyimpanan yang standar untuk arsip statis.
    • Digital (Alih Media): Melakukan digitalisasi arsip-arsip sejarah. Proses alih media ini harus disertai dengan pembuatan salinan otentik dan penetapan metadata yang lengkap, sesuai standar kearsipan elektronik, untuk menjaga otentisitas dan keutuhan informasinya.
  • Pengolahan dan Temu Balik: Arsiparis menyusun sarana bantu temu balik (finding aids), seperti daftar, guide, atau inventaris arsip. Sarana ini adalah kunci agar peneliti, sejarawan, dan masyarakat dapat dengan mudah dan cepat menemukan informasi yang mereka cari dalam koleksi arsip yang masif.

3. Jembatan Akses Informasi Publik

Pelestarian tidak hanya berarti penyimpanan, tetapi juga pendayagunaan. Arsiparis modern tidak hanya bersembunyi di ruang arsip, melainkan bertindak sebagai penyedia layanan informasi publik.

Melalui kepiawaian dalam mengelola arsip statis dan mematuhi Kode Etik Profesi, arsiparis Kemenag menjamin bahwa arsip sejarah yang telah dilestarikan dapat diakses oleh masyarakat umum, akademisi, dan media, sesuai dengan prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik dan tetap memperhatikan aspek kerahasiaan yang dikecualikan.

Kesimpulan:

Di tengah arus digitalisasi yang masif, peran arsiparis sebagai penjaga memori Kemenag semakin krusial. Mereka adalah pahlawan senyap yang memastikan bahwa jejak langkah institusi dalam melayani umat dan membangun bangsa tidak akan terputus. Dengan kompetensi yang terus diasah dan integritas yang dipegang teguh, arsiparis menjadi penjamin bahwa sejarah dan bukti otentik Kemenag akan abadi, menjadi acuan bagi generasi yang akan datang.